Konflik Lingkungan Hidup


Konflik dapat diartikan sebagai perselisihan. Dalam buku "Resolusi Konflik Lingkungan" yang ditulis oleh Prof. Sudharto menurut Santosa (2002) konflik dapat dibedakan menjadi beberapa kategori. Pertama, konflik sebagai persepsi. Konflik sebagai persepsi diartikan jika konflik yang diyakini terdapat perbedaan kebutuhan, kepentingan, keinginan atau nilai dari seseorang/pihak dengan seseorang/pihak lain. Kedua konflik sebagai perasaan yakni konflik yang muncul sebagai reaksi emosional terhadap situasi atau interaksi konflik yang memperlihatkan ketidaksesuaian/ketidakcocokan. Konflik ini diwujudkan dengan rasa takut, sedih, marah, dan keputusasaan. Ketiga, konflik sebagai tindakan merupakan ekspresi perasaan dan pengartikulasian dari persepsi kedalam tindakan untuk memperoleh suatu kebutuhan yang memasuki wilayah kebutuhan orang lain. Ekspresi konflik ini ditunjukkan dalam bentuk tindakan dengan menuntut pihak lain untuk memberikan ganti rugi. 

Lingkungan hidup memiliki potensi konflik yang sangat tinggi. Hal ini dikarenakan ciri-ciri yang melekat dalam lingkungan hidup dan cara pandang pihak-pihak yang berkepentingan berbeda-beda. Ciri-ciri yang melekat dalam lingkungan hidup meliputi : intangible, eksternalitas negatif, jangka panjang dan common property. 
1. Intangible 
Lingkungan hidup memiliki sifat tidak mudah untuk dikuantifikasi dalam bentuk moneter. Fungsi lingkungan sebgai pengatur tata air, pencegah erosi, pengendali banjir, penyedia oksigen masih sulit dikuantifikasi dalam bentuk moneter sebagaimana dilakukan untuk produk seperti kayu, ikan dan bahan mineral. Sifat ini tentu menyulitkan pengambil keputusan dan pengusaha untuk memasukkan aspek lingkungan dalam kebijakannya. 
2. Eksternalitas negatif
Pada umumnya dampak lingkungan yang ditimbulkan akan menimpa orang lain dalam lokasi tersebut bukan pemrakarasa kegiatan. Banjir, longsor, bising, debu, intrusi air laut, hilangnya mata pencaharian merupakan dampak lingkungan yang tidak dirasakan oleh pemrakarsa kegiatan. Dampak lingkungan ini dirasakan oleh warga sekitar lokasi kegiatan. 
3. Jangka panjang
Dampak lingkungan yang ditimbulkan akibat suatu kegiatan seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan merupakan dampak lingkungan yang terjadi setelah berselang waktu yang lama. Dampak lingkungan seperti ini tidak dirasakan dalam satu atau dua hari namun bisa dirasakan setelah satu hingga dua tahun bahkan lebih lebih setelah kegiatan selesei dilakukan. 
4. Common property
Masih banyak yang beranggapan bahwa lingkungan adalah milik publik sehingga setiap orang merasa berhak mengeksploitasi sebesar-besarnya sumber daya alam dan membuang limbah ke lingkungan. Dalam kehidupan sehari-hari tidak banyak orang menyadari bahwa pola konsumsi dan transportasi memiliki implikasi bagi lingkungan. Dengan arti lain seharusnya ada biaya publik yang harus dibayar akibat pola konsumsi tersebut. 

Perbedaan kepentingan dan perbedaan sudut pandang lingkungan terhadap empat hal diatas memicu terjadinya konflik lingkungan. Konflik lingkungan dapat terjadi antara pemerintah dan pengusaha dengan masyarakat, antara lembaga pemerintah, antara lembaga pemerintah dan masyarakat bahkan antara lembaga pemerintah dan lembaga sosial. Semakin berkembangnya jaman, dalam era keterbukaan dan otonomi daerah yang semakin kuat maka konflik yang muncul akan semakin kompleks. Keterlibatan antara kelembagaan negara, kelembagaan sosial, pengusaha, masyarakat akan semakin banyak dan rumit. Konflik lingkungan akan semakin tidak terbatas dan beragam. 

Makin maraknya kerusakan lingkungan, perubahan tata guna lahan, pencemaran yang ditimbulkan akan memicu konflik yang semakin luas dan kompleks. Maka dari itu, salah satu penyeleseian konflik yang paling efektif adalah melalui perundingan. Perundingan dinilai lebih efektif dan sejalan dengan budaya bangsa dan nilai reformasi yang diharapkan. 

© 2014 Selamatkan Lingkungan - ALL RIGHTS RESERVED
Template By FIANESIA Diberdayakan oleh Blogger